07 Agustus 2009
Elegi Bulan Februari
Kulangkahkan kakiku di tanjakan terakhir, aah, akhirnya sampai juga aku di puncak ini, 04.03, tak akan lama lagi matahari akan muncul, membuat langit hitam kelabu ini luntur perlahan menjadi merah dan kemudian berangsur-angsur pucat membiru. Kubasuh muka dan tanganku dengan debu, kuluangkan sedikit waktu untuk-Nya. Entah sudah berapa kali aku mendaki gunung ini, memang bukan sebuah gunung yang besar, akupun sampai mengenal tanjakan dan tikungannya seperti guratan-guratan di telapak tanganku. Namun, pendakian kali ini berbeda, kali ini aku datang sendiri, aku ingin melupakanmu, meskipun aku tahu itu adalah sebuah kebohongan, tapi setidaknya aku bisa mengikhlaskanmu, dan aku tak ingin membagi momen ini dengan orang lain. Dahulu kau begitu anggun dan bersahaja, seorang gadis desa yang lugu, apa adanya. Aku heran mengapa waktu itu kau mengatakan ya kepadaku. Padahal aku bukanlah laki-laki yang pandai menyusun kata-kata manis ataupun selalu berada di dekatmu saat kau dirudung masalah, aku juga bukanlah seorang lelaki perhatian yang akan menanyakan kabarmu setiap hari ataupun memberikan hadiah-hadiah kepadamu, aku hanyalah seorang lelaki pecinta gunung dengan kehidupan yang monoton. Tapi tahukah kamu, aku bukannya tak ingin seperti pasangan-pasangan lain, semua itu karena aku tak ingin terlalu mencintaimu, ya, aku takut terlalu mencintaimu.
Matahari muncul perlahan, meruntuhkan bayang-bayang, menghangatkan bumi yang beku oleh angin pagi, tidakkah bosan dia setiap hari muncul dan tenggelam, , heh bodoh, matahari bukanlah manusia sepertiku, yang dengan mudahnya bosan dengan rutinitas. Manusia adalah pembangkang yang nyata, iblis malah menurutku makhluk yang paling taat setelah malaikat, kenapa? karena iblis tidak punya pilihan, memang mereka diciptakan untuk menjerumuskan manusia, itulah hakikat mereka diciptakan, sebagaimanapun mereka mencoba pada akhirnya berakhir di neraka juga. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dalam hidupnya, hanya manusia bodoh saja yang menyalahkan takdir atas nasib buruknya. Hidup manusia memang sudah digariskan, tapi kita jugalah yang memilih seperti apa garis itu, lagian baik buruknya nasib tergantung bagaimana hati kita menginterpretasikannya bukan.
Dahulu kita berangan-angan bahwa kita akan hidup bersama selamanya. Kata selamanya membuatku ingin tertawa saja, itulah kata-kata bodoh yang menjadi favorit orang yang sedang jatuh cinta. Jujur saja aku lebih suka menggunakan kata kasih sayang daripada cinta. Cinta itu pembodohan terbesar umat manusia, sama bodohnya dengan seorang atheis yang menjelang ajalnya berkata, “ Katakan pada Tuhan bahwa aku tetap seorang atheis.” Cinta hanyalah permainan feromon yang akan luntur seiring waktu. Aku rasa kota itu telah banyak merubahmu, menawarkan begitu banyak kenikmatan dunia. Aku begitu mempercayaimu, seperti aku percaya pada segelap-gelapnya awan hitam yang menggelantung, akan selalu memberi air hujan yang jernih. Tapi aku yakin itu bukanlah sebuah kesalahan, karena hubungan pada dasarnya adalah saling mempercayai satu dan lainnya. Yah, mungkin kita terpisah terlalu jauh, seperti Sagitarius di ufuk timur dan Capricornus di ujung barat. Meskipun kadang terlintas dalam benakku bahwa jarak ini akan memberi arti lebih. Tapi jarak itulah mungkin yang membuatmu jenuh, hanya terbayang-bayang yang semakin lama memudar, seperti warna langit saat ini.
Yah, masa-masa itu memang indah. Masa di mana aku rela berjuang seperti air hujan dari hulu yang berpayah-payah mencapai estuari, sepertinya aku bisa melakukan segalanya untukmu, menghancurkan bantaran membentuk meadow. Tapi meskipun masa itu sudah berakhir bukan berarti aku akan berhenti berjuang, karena aku akan kembali menjadi air hujan dan aku akan terus mengukir meadow-meadow baru hingga aku mencapai estuariku. Masih ingatkah engku malam itu, setelah hujan badai aku bertandang ke rumahmu, karena alasan bodoh 3 hari aku tak bersua denganmu, heh, mungkin hanya orang bodoh yang mau menempuh jarak 30 km di cuaca seperti itu, dan kita berciuman malam itu. Tapi sekali lagi itu semua hanya akan menjadi kepingan-kepingan memori indah di masa lalu, yang mungkin akan hilang saat aku senja.
Tak terasa sudah hampir 4 jam aku berdiam diri di sini, seekor elang berpusing pelan, bebas, memandang luas hamparan lembah. Matahari meninggi seolah mengejekku, ah, mungkin sudah saatnya aku harus segera beranjak. Jalan turun terkadang membutuhkan lebih banyak perjuangan daripada saat kita mendaki Mungkin lain kali, saat aku menginjakkan kakiku di puncak bukit ini aku akan dalam keadaan yang lebih baik. Semoga seiring berakhirnya pendakian ini aku akan bisa mengikhlaskanmu, dan semoga engkau bahagia, aamiien.
Kamar Gelap, 6 Agustus 2009
Terima kasih buat sahabat di Semarang atas kisah hidupnya yang tragis, hehe, sekali-kali gw nulis yang tentang romansa ah, biar dikira anak muda, meskipun masih absurd sih, but enjoy it.
It's just a fiction lho.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
wish you have a good time~
Thank a lot,
sure i'll,^_^
Posting Komentar