25 Juni 2010

Hujan

Untukmu :

Kalau malam adalah berarti gelap, maka malam turun lebih cepat hari ini. Baru tengah hari dan mendung mengakhiri hari lebih cepat kali ini. Jelaga hitam menggelayut rata menutupi langit, meskipun di sebelah utara terlihat sedikit lebih terang. Sungguh kontras dengan suasana cerah pagi tadi.

Belum ada setengah jalan jarak yang kutempuh untuk sampai ke tempatmu, tapi nampaknya langit sudah tak sabar lagi menumpahkan semua yang dikandungnya ke bumi. Kuputar tuas gas motor butut kakakku sekencang mungkin sebelum tertangkap hujan. Semua orang nampak terburu dalam suasana muram seperti ini, jalanan dipenuhi kendaraan-kendaraan yang dipaksa pengemudinya sampai ke tujuan sebelum hujan turun.

Sampai aku di jalanan dengan sawah menghampar luas di kanan kiri, meskipun entah sampai kapan hijaunya digantikan warna-warni bangunan. Dari arah berlawanan banyak pengendara motor dengan mantel hujan dan beberapa basah kuyup tanpa mantel hujan. Kucium angin lembab yang berhembus membawa aroma hujan, aroma paling indah menurutku, seolah membawa pertanda akan ada kesenangan di depan. Kutepikan motorku, mencoba bersiap-siap menerjang hujan. Kubuka bagasi motorku, astagfirullah, kosong, ahh, aku lupa memasukkan lagi mantel yang kupakai kemarin, mungkin masih di atas meja dalam garasi. Mau bagaimana lagi, sedikit menyesal dan merasa bodoh kuteruskan perjalananku.

Masih di jalanan penuh sawah, belum lama aku melaju, brrrruuuuuuussss, akhirnya dimulai juga, langit menghujani bumi dengan panah-panah airnya. Kulihat sebuah gubug yang nampak kesepian mungil berdiri di jalanan seperti ini, kutepian motorku sekali lagi ke sana. Mungkin gubug ini dipakai pendirinya untuk menjual ikan, entah ikan laut atau apa, terlihat sisik-sisik berbau amis tertinggal di meja dengan tinggi sepahaku yang tepat terletak di tengah gubug dengan kursi panjang yang tak terlalu tinggi berada di belakangnya. Dinding gubug terbuat dari anyaman bambu yang menutupi seluruh bagian belakang gubug, dan dibiarkan terbuka di bagian depan dan samping-sampingnya, sehingga menyisakan ruang untuk para pengendara yang mungkin berminat membeli. Rusuk-rusuk atapnya dibuat dari batang-batang bambu dengan genteng-genteng tua berwarna coklat yang disusun kurang rapi sehingga air hujan menetes di beberapa tempat saat hujan seperti ini, membuat lubang-lubang air di lantai tanahnya. Aku tak suka menunggu dan pula tak suka membuat orang menunggu, meskipun pada dasarnya menunggu hanya membutuhkan sedikit kemampuan untuk duduk dan bengong dibumbui dengan sedikit kesabaran, tapi tak usah dipungkiri semua orang menganggap menunggu itu membosankan, meskipun menunggu membuat kita lebih bijak, kadang-kadang. Nampaknya kau harus menungguku kali ini, Tuhan tidak mengizinkanku sampai di tempatmu tepat waktu.

Hujan yang turun tak begitu deras, titik-titik airnya tidak begitu besar, tapi mendung yang tadi kelihatan pekat kini berubah agak putih cerah, tampaknya hujan akan turun lama. Kuambil HP dan earpiece dari tasku, kuputar lagu-lagu pelan pengantar hujan untuk membunuh waktu. Kendaraan yang melaju di jalan lebih sedikit, hanya beberapa mobil yang sekali-kali lewat seolah tak terganggu oleh hujan, banyak mungkin pengendara motor yang bernasib sama sepertiku.

Aku selalu suka hujan, dia tak pernah terlalu ekspresif, namun selalu impresif, tak pernah sama dan selalu meninggalkan kesan yang berbeda, terkadang kalau kita beruntung hujan memberi kita bonus busur-busur warna di udara. Entah hujan berarti tangisan kesedihan ataupun rasa cinta langit pada bumi, yang pasti hujan selalu memberi kehidupan baru di bumi. Setengah jam sudah aku menunggu, namun nampaknya hujan belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti, malah rasa-rasanya semakin deras, yang berarti bagus untukku, hujan akan selesai lebih cepat. Angin bertiup agak kencang, membawa butir-butir hujan seolah tak rela aku tak merasakan nikmatnya air hujan. Kulihat genangan air di atas aspal tak bisa tenang, beriak dipukul terus-menerus air dari atas, terkadang ada mobil yang lewat mengosongkannya, tapi tak berapa lama akan penuh kembali, begitu berulang kali. Lagu di playlistku sudah habis, ingin rasanya kuterjang hujan ini, tapi aku tak ingin melihat wajah cantikmu saat marah. Kau selalu memarahiku saat aku bernyanyi bersama hujan, saat airnya membasuhku. Tapi aku juga tak kuasa membayangkan dirimu terjebak dalam kebosanan menungguku. Tapi daripadanya aku lebih memilih yang pertama, aku akan menunggu sampai hujan reda.

1,5 jam sudah aku terjebak di gubug kecil di tengah jalanan sepi ini, aku mulai terbiasa dengannya. Awan mulai semakin tipis, sedikit sinar matahari menerobos melewatinya, memberi pertanda sebentar lagi hujan akan pergi. Burung-burung sriti berkejaran riuh di antara air yang jatuh, seolah tidak peduli udara dingin hari ini. Kuputuskan saat tetes air mengecil aku akan melanjutkan perjalanan, tapi kapan?

Irama hujan masih merdu terdengar, tik..tik..tik..jatuh terurai menghantam genteng dan akhirnya jatuh ke tanah bergabung dengan titik-titik air yang jatuh terlebih dahulu, mengalir entah kemana. Terlihat beberapa petani bergegas memanggul cangkul berjalan melewati pematang sempit yang membelah lahan-lahan mereka. Wajah bahagia dan rasa bersyukur terlihat dari langkah mereka yang bersemangat, Tuhan menyirami lahan mereka, masa panen akan tiba, hijaunya sawah-sawah ini akan berubah dipenuhi bulir-bulir emas tak lama lagi. Namun kukira kebahagiaan itu tak dirasakan oleh pedagang-pedagang yang kehilangan pembeli di saat hujan seperti ini.

Tak berapa lama titik-titik hujan mulai mengecil, lebih terlihat seperti jarum-jarum halus yang jatuh. Langit juga mulai cerah, meskipun belum menampakkan birunya, namun setidaknya tidak muram seperti beberapa waktu lalu. Jalanan yang tadi lengang kini mulai sedikit ramai oleh beberapa motor yang lewat. Yah, saatnya beranjak melanjutkan perjalanan. Kusapu sisa-sisa air yang menempel di jok motorku, kulihat sekali lagi gubug mungil itu, aku tak tahu bagaimana cara berterima kasih padanya, tapi seandainya saja aku bisa. Kau tidak akan merindukanku, karena kita akan bertemu lagi saat perjalanan pulangku nanti.

Aku harus bergegas, kupacu lagi motorku secepat dia bisa. Tak sabar aku sampai ke tempatmu, melihat senyum manismu. Semoga hujan tak menipuku dengan menurunkan hujan lain di suatu tempat di depan. Mungkin aku akan sedikit lebih lama, karena aku harus mampir ke toko bunga lebih dulu.


Pinangga 22, My Idea Tank, June 25, 2010