19 November 2009

Senja di Atas Bus Kota

Matahari sudah menua, di barisan belakang aku duduk menyenderkan kepala di atas meja dan berharap kuliah pengganti ini cepat selesai. 16.25 dan 3 SKS Lab Akuntansi selesai juga, bergegas aku menuju kost baruku, sebuah kamar mungil dengan 2 daun jendela menghadap lapangan bola yang selalu mempertontonkan keramaian membosankan. Kumasukkan sedikit pakaian ke dalam tas hitamku, dengan sedikit garis kuning, yang selalu membawa buku-buku tebal melelahkan dan segera bersujud di lantai bumi menjalankan tugasku sebagai makhluk.

Kutelefon Akbar, sahabat dari tanah Palembang, agar sudi meluangkan sedikit waktunya mengantarkan aku ke pangkalan bus kota di Lebak Bulus.

Senja seperti ini, saat orang-orang pulang bekerja, pemandangan yang biasa jalanan ibukota dibanjiri motor-motor dan mobil-mobil, dan setiap orang harus bertaruh dengan urat kesabaran mereka. Bintaro – Lebak Bulus yang harusnya ditempuh 15 menit berjalan lambat menjadi 40 menit.

Tampak di seberang, halte Transjakarta yang belum lama beroperasi ramai sesak, dipenuhi orang-orang dengan raut muka seragam, terpenjara. Sebuah bus kota tua berwarna putih mulai menampakkan mukanya, ucapan selamat jalan tergumam dari mulut Akbar bersambut ucapan terima kasih dariku.

Masuk aku ke dalam bus kota tua beraroma karat dan duduk di kursi berbahan melamine di dekat pintu masuk depan. Hanya ada beberapa orang di situ, dan semuanya menunjukan raut muka yang sama, ingin cepat mereka sampai di rumah.
Laju bus terhenti di lampu merah perempatan Lebak Bulus, polisi jalanan berteriak-teriak mengatur letak angkutan-angkutan yang serampangan, kupikir, kerja mereka lebih baik daripada polisi betulan. Kondektur bus menarik ongkos mulai dari belakang, hingga akhirnya sampai padaku, kuberikan selembar uang 5000-an, dikembalikannya 3000, 1 lembar 2000-an dan selembar 1000-an. Di situ bus mulai dipenuhi penumpang, 2 orang gadis ikut masuk dari pintu di depanku, salah satu dari mereka membawa ukulele dan mulai bernyanyi. Aku tak tahu lagu apa itu, tapi yang pasti berisi tentang ratapan karena ditinggalkan seseorang, aku tak begitu menikmatinya. Laju bus tersendat, terhalang iring-iringan motor yang bergerak lincah, berusaha saling mendahului supaya berada di barisan paling depan. Dan akhirnya bus benar-benar berhenti saat mengantri di pintu tol di depan dealer Audi Simatupang. Setelah menyanyikan 3 lagu, mungkin, 2 orang pengamen tadi berhenti menyanyi dan mengharap sedikit kemurahatian para penumpang. Saat tiba di depanku, aku hanya melambaikan tangan saja tanda tak memberi, melihat penampilan mereka membuatku berpikir mereka orang yang berkecukupan, lagian aku tak terlalu menikmati permainan mereka.

Bus melaju lancar di jalan tol. Terlihat kemacetan yang akrab di jalan bawah melihat iri ke arah jalan tol yang memang terletak di atas.

Bus mulai melambat keluar jalan tol di pintu tol Ragunan dan segera disambut kemacetan lampu merah. Beberapa penumpang dan 2 orang pengamen tadi turun di situ.
Lampu merah berganti warna, bus belok ke kiri menuju Warung Buncit di Jalan MT Haryono , berjalan perlahan menunggu beberapa penumpang yang berlari terburu. Di antara penumpang-penumpang tadi, ada 3 orang pemuda dengan dandanan ala punk yang ikut masuk ke dalam bus, 2 orang di belakang dan seorang di depan, tepat di depanku.
“ Sampah, hahahahahaha.”
Itu kata pertama yang dia ucapkan begitu masuk ke dalam bus.
“ Bapak-Bapak Ibu-Ibu sekalian maafkan kami tidak membawa gitar karena razia Satpol PP bangsat yang ngga punya otak, seperti yang Anda ketahui hidup di Jakarta tidaklah mudah, jadi kami mohon Anda mau memberikan sedikit rejeki yang Anda dapat.”
Mereka lalu berkata-kata sesuatu yang mungkin mereka sebut sajak, aku tak begitu memperhatikannya, kepalaku terlalu pusing menahan denyutan-denyutan sejak tadi siang. Mereka berhenti berkata-kata dan mulai meminta mulai dari kursi terdepan, sekali lagi aku hanya melambaikan tangan, aku tak mau nantinya uang yang aku berikan sia-sia hanya untuk mereka minum-minum.
“Sampah.”
Orang yang tadi berdiri di depanku mengataiku. Aku hanya tersenyum menerimanya. Yah, mungkin aku memang lebih sampah dari mereka semua, belum ada hal yang berguna yang aku lakukan sampai saat ini. Dan mereka pun berlalu begitu saja.
Bus berjalan lambat dan sedikit demi sedikit penuh terisi penumpang Aku mulai sedikit terlelap, sampai tiba-tiba seorang ibu setengah baya membacakan do’a di depanku. Kuperhatikan dia, kaki dan tangan kirinya tak berjari, miris aku melihatnya, bersyukur aku terlahir dalam keadaan seperti ini. Saat dia selesai mengucapkan beberapa do’a aku pun mengamininya. Disodorkannya bungkus permen kosong ke depan para penumpang, kumasukkan 2000-an kembalian membayar tadi.
“ Terima kasih Nak, semoga jadi anak yang sholeh ya Nak.”
“ Aamiin, terima kasih Bu.”
Langit di luar mulai terpoles kuas hitam, gelap menyingsing. Panggilan-pangilan untuk sejenak bersujud mengalun hening. Namun tampaknya tak ada yang mendengarnya, mereka tetap berkata-kata, mulut mereka bergerak-gerak seperti mengucapkan mantra tak bersuara. Begitupun aku, hanya diam, tak beranjak, aku sudah berniat mengqada salatku di atas kereta nanti, seperti Nabi yang selalu mengqada salatnya saat bepergian, agama tak pernah memberatkan umatnya kalau mereka ikhlas. Keramaian di dalam bus pun begitu hening, termakan deru suara bus.

Perutku mulai terasa perih, memang sejak pagi tadi aku baru makan sekali. Kuliah dari pagi sampai sore membuatku tak sempat memberi makan perutku. Hasilnya mereka marah padaku, membanjiri lambungku dengan asam-asam pahitnya, membuatku ingin muntah saja. Sakit kepala dan perut perih bukanlah gabungan yang mengenakkan. Tapi aku ingin menikmatinya, tak ingin aku berbaginya dengan orang lain, cukup aku saja. Rasa sakit dan kesedihan bukanlah sesuatu hal untuk dibagi, mungkin suatu saat aku mendapat kesenangan aku akan membaginya. Kupejamkan mataku menikmatinya.
Sekali lagi laju bus terhenti, kali ini terhalang keramaian pasar di daerah Mampang Prapatan.
“JASADKU!”
Seorang pemuda masuk dan berkata dengan lantang membawakan sebuah puisi apik penuh penghayatan. Dia bersimpuh di lantai bus.
……………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………..
“ Yang ada hanya penyesalan diri yang tiada arti bagimu.”
“ Apabila.”
“ Sang maut datang tiba-tiba.”
“ Apa yang kita pikirkan ?”
“ Apa yang kita renungkan ?”
“ Memang.”
“ Diam kita dalam bahasa sunyi.”
“ Diam kita gelap.”
“ Diam kita dalam selimut dan doa.”

“ Ya, itulah kawan sebuah puisi berjudul Jasadku, tadi saya bilang bahwa Anda adalah calon-calon jenazah, bukannya saya nyumpahin atau apa, tapi bukankah kita semua pasti mati bukan? Siapa tahu setelah saya turun dari bus ini saya mati, begitu juga anda kawan. “
Digulungkannya teks puisinya tadi menjadi bentuk cone dan ia sodorkan ke depan para penumpang. Kumasukkan seribuan ke dalam cone itu.
“ Yah, terima kasih pada kawan sopir, kawan kenek, dan semua penumpang di sini, terima kasih untuk yang ngasih, yang tidak pun saya ucapkan terima kasih, dan semoga Anda semua selamat sampai tujuan.”
Dan seperti sebelumnya dia pun berlalu begitu saja.

Bus memasuki daerah Kuningan, muka-muka lelah berserakan di pinggir jalan, sebuah hipokrisi mungkin jika mereka tersenyum. Bus melaju pelan memunguti beberapa dari mereka. 2 orang pemuda yang membawa gitar ikut masuk dari kerumunan tersebut.
Tanpa berkata-kata mereka memainkan sebuah lagu akustik dengan barisan lirik penuh semangat. Permainan mereka terhenti beberapa kali saat ada penumpang yang berebut tempat di dalam bus yang mulai penuh sesak. Setelah permainan mereka selesai, mereka menyodorkan gelas bekas air mineral. Meskipun penumpang penuh sesak, tampaknya hanya sedikit orang yang mau bermurah hati. Inginku memasukkan sedikit uang ke dalam gelas kosong tadi, permainan mereka layak diapresiasi, namun tak ada uang lagi di kantongku. Dan mereka turun begitu saja di perempatan Taman Menteng.
Bus memasuki jalan di daerah Menteng. Rumah-rumah megah berjejer di sisi kiri kanan jalan. Di sini hidup para pengusaha, artis, pejabat, dan mungkin banyak juga koruptor. Saat bus sampai di Stasiun Gondangdia beberapa orang turun di situ, memberi sedikit ruang kosong untuk udara senja.

Seorang perempuan muda tidur di sebelahku, wajahnya begitu teduh, meskipun kukira tadi dia mengalami hari yang berat.

Bus terus melaju, melewati Istiqlal, di seberangnya berdiri tak kalah megah Katredal St. Immanuel. Mereka terlihat begitu rukun, tak seperti orang-orang yang masuk ke situ. Mereka bersembunyi dalam sebuah hiperealistik bermuka 2, saling menjelek-jelekkan, berkata bahwa mereka yang paling benar, berkata bahwa mereka yang akan masuk ke surga dan yang lainnya ke neraka. Aah, andai saja mereka seperti 2 bangunan bisu yang tak pernah saling mengatai ini. Dan bus pun melaju tak peduli.
“ Ya Senen…Senen…habis…habis….”
Suara kenek mengisyaratkan bus telah sampai di Terminal Senen, perjalanan berakhir di sini. Banyak bus-bus tua, angkot, dan bajaj yang berbaris berjejer di situ. Para penumpang pun berebutan keluar, seolah-olah tak ingin lagi berlama-lama di dalam bus tua ini. begitu kakiku menginjak aspal, aku pun berlari ke Stasiun Senen di seberang. Kulihat jam, 19.10, 10 menit lagi keretaku berangkat, melanjutkan perjalanan yang terpenggal.