08 Mei 2010

The Majapahit Trilogy, Sekelumit Ide di Atas Sofa Butut

Jumat, seperti biasa setelah Sholat Jumat beberapa Pinangger akan terlihat berkumpul di sofa butut di depan TV 29” dengan remotenya yang tak kalah ancurnya karena sering didudukin, ngobrol segala sesuatu yang pengen diobrolin. Tadi kebetulan cuma ada gw ama Munif, karena kita soljum di Al Barkah yang deket kost dan terkenal khotbah Jumatnya cepet, hhe, kloter An Nur masih belum ada yang tampak batang hidungnya. Tiba-tiba layar kaca mempertontonkan iklan film Bollywood judulnya Don, yang main Sharukh Khan, di iklan itu ada beberapa adegan-adegan yang lumayan keren. Dimulailah percakapan kita tentang perfilman Indonesia yang super cupu saat ini. Perbincangan diawali oleh Munif

“ Orang India keren juga ya bisa bikin kaya gitu, padahal film itu udah dibikin tahun berapa itu, Indonesia ini bisa sebenarnya, bisa juga, Indonesia ini kaya kali sebenarnya, coba dibikin film kolosal tentang Majapahit, trilogy gitu, pasti box office deh.”

Karena masih laper gw jawab dengan pesimis,

“ Mana laku Nif, orang Indonesia mah pasti ga doyan nonton film gitu-gituan, yang ada film-film horror ga jelas, padahal sebenernya mah bokep nanggung”

“ Woiss, jangan salah, sebenarnya kita kurang publikasi aja, jadi masyarakat pada ngga mau nonton, coba kita ntar bikin trus diikutin festival-festival film internasional, pasti ntar orang-orang Indonesia tertarik juga, siapa sih yang ngga mau nonton film box office, tengoklah Laskar Pelangi.”

Akhirnya tercerahkanlah otak bebal gw,

“ Bener juga ya, publikasi gede-gedean aja, bikin semua orang penasaran, ntar pasti pada tertarik buat nonton, sebenernya film-film indie itu bagus-bagus, cuman kurang publikasi aja., tapi yang bikin produser-produser film males buat film kolosal itu gara-gara biaya buat film gituan pasti mahal.”

“ Tapi kan ntar incomenya gedhe juga, dikasih lah subtitle bahasa inggris, kita pasarkan di luar negeri, pasti laku, liat aja China banyak film-film tentang kerajaan mereka.”


Tiba-tiba datang Dhani diikuti akang warung mie depan dengan pesanan indomie telur rasa soto ayam buat makan siang gw.

“ Pada ngomongin apa ni?”

“ Majapahit trilogy Dhan.” celetuk gw sambil bayar mie ke Aa'.

“ Jadi kalo di Indonesia ini dibikin film tentang Majapahit gitu pasti laku, ya ngga?”

Dhani pun terbawa ke perbincangan.

“ Eh iya, bener juga lho, cuma masalahnya kita ini kurang bangga ama budaya sendiri.”

Munif nambahin,

“ Liat aja Jepang, negaranya kecil gitu, ngga pernah ekspansi ke luar, tapi samurainya terkenal kemana-mana, masa Indonesia yang gedhe gini ngga bisa.”

“ Dibikin waktu perang lawan prajurit Mongol, pasti seru, senjata dimana-mana, dibumbui ama kisah-kisah cinta gitu, misalnya waktu nglamar putrid yang dari Campa itu, pasti keren, kalau aku konglomerat, udah aku bikin tu film.”

Seiring pembicaraan mie gw tinggal setengah, si Aa’ ni bikinnya kebanyakan airnya, hmmm.

“ Iya, cuman jangan dikasih efek-efek terbang gitu, ntar malah jadi freak, dibikin alami aja, kaya film Troy, Arthur gitu.”

“ Dikasih efek-efek juga nggak apa-apa, asal efeknya bener-bener bagus.”

“ Nggak ah, kita harus bikin se-real mungkin, bayangin aja Gajah Mada pegang keris sambil diikuti prajuritnya yang banyak, wuuuuh., pake bahasa Jawa lagi, hahahaha, pasti keren” Chauvinisme gw keluar.

“ Mbuahmu pake bahasa Jawa, pakai bahasa Sansekerta lah, tapi apa ada yang masih bisa, pake bahasa Indonesia trus dikasih subtitle bahasa inggris aja”

Sreeeet, tiba-tiba gw terlintas aja nama Adipati Unus di pikiran gw,


“ Atau kalau ngga dibikin tu perang pas Adipati Unus nyerang Portugis di Selat Malaka, dibikin kaya waktu perangnya di Pirates of The Carribeans, keren juga tuh, banyak meriam-meriam gitu.”

“ Bisa juga serangan Panembahan Senopati ke Batavia, banyak lah kalau mau digali.”

“ Boleh juga tu, intinya kita tu sebenernya punya banyak potensi, cuman pada terpaku ama trend aja para pembuat film itu, jadinya ya monoton.”

“ Mereka-mereka pada mentingin income sih, coba kalau pada mentingin kualitas film, bukan artist sejatilah.”

Akhirnya gw kenyang, mie gw habis, percakapan pun berakhir, hehe. Pesan buat sineas-sineas Indonesia lah yang punya kapasitas buat mewujudkan mimpi kita buat perfilman Indonesia yang bermutu, berkaryalah untuk karya itu sendiri, jangan berkarya karena materi, niscaya materi itu akan ngikut sendiri, nama kalian pun akan abadi bersama karya kalian. Dan buat sineas-sineas yang belum tercerahkan yang masih bikin sinetron-sinetron, atau “drama” reality (reality yang didramatisir), tobatlah kembali ke jalan yang benar, gali potensi kalian, udahlah cukup bikin sampah-sampah yang membodohi masyarakat.

Ditulis jam 1-an malam, abis nyuci, semoga cucian gw besok kering, :p

06 Mei 2010

Negeri di Atas Awan


Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang neg'ri di awan
Di mana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kau bawa
Aku menuju kesana


Secuil lirik lagu tentang negeri impian di atas mungkin memang hanya bisa kita dapati di dalam sebuah lagu, sebuah negeri dalam angan-angan belaka

Tengoklah sebuah negeri bernama Indonesia,
dimana uang menjadi istananya
dewan perwakilan berulah bagai hewan
pelacur dijadikan pimpinan
yang benar disalahkan
yang salah dibenarkan
rakyat kecil yang jadi korban


Di negeri ini orang cerdik pandai dibuang, Sri Mulyani Indarwati, Srikandi Reformasi, manusia berkompeten, disia-siakan setelah jasanya menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi global, setelah reformasi pajak yang menaikkan pendapatan Indonesia. Sebuah wacana di negeri ini, sepintar apapun orangnya, sekompeten apapun orangnya, kalau suaranya berbeda akan tersingkir juga. Tidak cuma dia, dahulu Sang Jenius Habibie juga mengalami nasib yang sama, dibuang, tak dihargai. Bagaimana negara ini bisa maju kalau penghargaan kepada para warganya tidak ada,. Terbukti negara yang maju adalah negara yang bisa menghargai warga negara mereka , Mungkin sudah bawaan dari orok orang-orang di negeri ini lebih suka melihat kejelekan orang daripada kebaikan mereka. Tapi memang mereka lebih baik keluar dari negeri ini, mereka lebih dihargai di sana dan mereka lebih bisa memberikan kontribusi mereka pada dunia setidaknya.

Sebenarnya apa yang salah dari negeri ini?

Semuanya? tidak juga, negeri ini masih memiliki banyak orang baik, hanya saja sedikit dari manusia-manusia busuk lah yang memegang kekuasaan. Wakil rakyat, menggembar-gemborkan atas nama rakyat, aspirasi rakyat dijadikan tameng, tapi apa? mereka bicara atas nama partai, golongan, aspirasi rakyat mana yang mereka sampaikan. Setiap saat meminta kenaikan gaji, meminta fasilitas dengan biaya yang waaah, fasilitas laptop 15 juta per ekor, buat apa sih, ngga guna, beberapa dari mereka bahkan tidak bisa mengoperasikannya. Gedung senilai 18T, berapa banyak sekolah-sekolah yang rusak, berapa banyak sarana-sarana umum yang memerlukan perbaikan? Semua anggota Hewan Perwakilan hanya memikirkan perut mereka sendiri, otak mereka benar-benar bebal. Lihat apa kerja mereka, rapat absen, datang pun hanya tidur, beda pendapat berantem. Benar kata Gus Dur, DPR itu seperti taman kanak-kanak.

Kasus century pun harusnya sudah bisa diselesaikan sejak dulu, DPR lah yang memanjang-manjangkan, bikin pansus lah, lihat apa hasilnya? pemborosan, rapat sana-sini, duit negara dihambur-hamburkan, hasilnya nihil, tapi setidaknya memberi tontonan rakyat bahwa mereka berisi orang-orang dengan mulut yang tak terdidik & otak yang dangkal. Dari recruitmentnya aja udah salah, di negeri ini kalo ngga punya duit ngga bisa dapat kekuasaan, money politik dijadikan patokan, mereka mengeluarkan duit yang ngga sedikit buat duduk di Senayan. Hasilnya, di Senayan mereka berusaha balik modal, mengadakan lah mereka yang seharusnya ngga ada, bikin lah mereka kebijakan-kebijakan yang sama sekali ngga bijak, intinya semua seperti lagunya Slank, ujung-ujungnya dhuit, wtf.
Selain itu KPK, satu-satunya harapan negeri ini bisa bersih pun dikebiri dengan undang-undang bikinan Hewan Perwakilan yang terhormat, penyadapan harus ijin lah, pembatasan wewenang lah, terus buat apa KPK, sebuah super body tanpa superioritasnya? Macam macan ompong. Mereka yang membentuk KPK, mereka pula yang mempretelinya, konyol.

Di negeri ini, partai-partai banyak sekali,
semua bicara atas nama rakyat,
mengayomi orang-orang melarat,
tapi semua sama, isinya hanya orang-orang keparat


Menurut gw, terlalu banyak partai di Indonesia ini, terlalu banyak benturan kepentingan. Yang biru lah, merah lah, kuning lah, hitam lah, semuanya sama saja. Akhirnya terjadilah yang namanya bicara untuk golongan, kebijakan yang dibuat menguntungkan sebagian orang saja, rakyat juga yang akhirnya dirugikan.

Di negeri ini hukum seperti mainan
Hakim-hakim mata duitan
Keadilan diperjualbelikan
Koruptor bebas berkeliaran
Preman desa masuk bui
Maling ayam mati dipukuli


Penegakan hukum di negeri ini pincang, markus-markus untuk mereka yang berduit agar bisa terhindar dari hukuman. Banyak professor, guru-guru besar bidang hukum, sarjana-sarjana hukum di negeri ini, gw yakin mereka orang pintar, tapi gw ngga yakin hati mereka sepintar otak mereka. Satu orang pintar yang ngga punya hati lebih berbahaya daripada sepasukan prajurit bersenjata. Dibalik-balikin lah hukum di negeri ini, Gayus yang jelas-jelas sampah di negeri ini divonis bebas dengan alasan yang sumir, sementara Nenek Minah, seorang tua renta, yang hanya karena memungut sebiji kakao yang jatuh ke tanah divonis penjara 1,5 bulan, ironis bukan.
Polisi pun sama saja, yang katanya mengayomi masyarakat malah diayomi masyarakat, pungutan-pungutan atas nama keamanan lah, benar kata Gus Dur di negeri ini hanya ada 3 polisi yang jujur, Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur, lainnya?

Tapi gw yakin suatu saat nanti akan datang saat di mana masyarakat bisa menilai mana yang benar dan salah dan akan orang yang berhati yang memimpin negeri ini, tapi kapan? No one knows. Dan suatu saat entah kita, atau mungkin anak cucu kita akan bercerita :

Dahulu kala ada sebuah negeri sirkus
Di mana petinggi-petingginya adalah badut
Negara dijadikan lelucon
Lucu sekali

But the circus must go on.

nb : kata penjaga kost gw, si sampah jayus Gayus sutambun alumni kostan gw lho, aduh bikin malu Pinangga aja,