11 September 2009

Tragedi Kereta Api

“ Penumpang kereta Senja Utama Jogja perjalanan anda berakhir di sini, terima kasih telah melakukan perjalanan bersama kami, tung..ting..ting..ting..” suara penjaga peron stasiun Tugu bersaing dengan suara adzan tepat saat gw sampai di stasiun Tugu. Suasana kota Jogja yang bersahabat seolah-olah menyambut kedatangan gw ma Bri dengan kios-kios yang menjual souvenir-souvenir batik khas Jogja.

9 jam di atas kereta yang hebat, gw berkenalan sama seorang Mayor yang mengajar di sebuah sekolah perwira di Jakarta, dia ke Jogja karena dapet beasiswa S2 di UGM dari Departemen Pertahanan, keren. Dia cerita pengalaman-pengalamannya mulai dari rusuh jajak pendapat di Timor Timur sampai cerita-cerita tentang pengalamannya Kalimantan, bahkan dia juga bercerita tentang masalah keluarga dia, hmmm.

Dari Jogja kita berencana naik Pramex, secara gw belum pernah naik Pramex, hehe. Tapi sialnya, Pramex tujuan Solo yang paling pagi berangkat jam 5.45, it means kita harus nunggu 1 jam lebih. Berhubung kita pengen cepet-cepet nyampe di rumah, kita putuskan buat numpang kereta Lodaya dari Bandung tujuan Solo yang saat itu lagi berhenti di Tugu. Kenapa gw naik Senja Utama Jogja dan bukan Senja Utama Solo? Karena Senja Utama Jogja lebih tepat waktu seperti yang telah dijadwalkan, berangkat dari Senen pukul 19.30 sampai di Jogja pukul 04.27, sedang Senja Utama Solo, di jadwal tertulis berangkat jam 20.30 sampai di Solo 06.30, tapi kenyataannya jam 8 biasanya baru nyampe Klaten, hmmm.

Sejak masuk ke dunia perkeratapian gw dapet hobi baru, kalo naik kereta gw paling suka kalo berdiri di depan pintu. Nah, sejak dari habis sahur sebelum masuk Kutoarjo, kira-kira jam 3 dini hari, sampai di Jogja gw berdiri di depan pintu kereta. You know, saat udara masuk dari pintu di depanmu meniup rambutmu dan membelai lembut wajahmu, keluar dari pintu yang lain. Saat kereta berjalan di atas sungai kau bisa merasakan jiwa air yang gelap bahkan saat kau tiba di sisi yang lain, pohon-pohon bertransformasi menjadi bentuk-bentuk yang berbeda saat kau melihatnya, perkampungan-perkampungan dengan lampu-lampunya yang redup menghilang begitu saja tanpa sempat melambaikan tangannya, dan saat lagu-lagu akustik bermain seperti soundtrack perjalanan yang akan berakhir saja.

Dari Jogja gw ama Bri berdiri aja di depan pintu, ngobrol-ngobrol tentang rencana-rencana liburan kita selama 6 minggu ke depan, trus ada juga ibu-ibu ama anaknya yang siap-siap mau turun di stasiun Klaten juga. Oiya, Bri ini adalah seorang extremis, kalo nyari dia mah gampang, cari aja di extreme game centre, budget dia buat game kayaknya lebih besar daripada budgetnya buat makan. Namanya mengingatkan gw ama salah satu tokoh di buku ke-2 Chronicles of Narnia, Horse and His Boy, seekor kuda yang bisa ngomong, Bri, hehe. Nah, waktu lagi enak-enaknya ngobrol, di daerah Prambanan, tiba-tiba

Bletak!

Kaki gw dilempar batu ama segerombolan orang yang lagi duduk-duduk di pinggir rel. Kalian bisa bayangkan bagaimana rasanya dilempar batu di atas kereta yang lagi ngebut. Kalo dihitung pake rumus fisika, energi yang mengenai kaki gw :

m = missal aja batunya kecil, beratnya 200 gram = 0.2 kg.
v = keretanya lagi ngebut waktu itu, misal aja 120 km/ jam = 33.3 m/s .
resistensi udara diabaikan, heheh.
Ek = 1/2 mv^2
Ek = 1/2 0.2 x 33.3^2
Ek = 110.889 joule

I have no idea with that calculation, but it was so damn hurt. Rasanya, bukannya gw lebay, tapi itu bener-bener sakit, yakin. Untung yang kena gw, bukan ibu-ibu ato anak kecil yang berdiri di deket gw, dan untungnya lagi kena kaki, kalo kena kepala gw gimana coba. Mungkin orang yang ngelempar otaknya udah nggak di dengkul lagi, tapi udah di telapak kaki.-> esmosi. Ada-ada ujian orang yang berpuasa,semoga aja bisa menjadi pengurang dosa gw dah, aamiin.

But that won't change my new hoby,hehe.