18 Juni 2009

Sesaat Sebelum Keberangkatan

“ Dari arah barat di jalur 2 kereta Turangga dari Bandung jurusan Kediri akan lewat, harap hati-hati!”, suara petugas penjaga stasiun membangunkan stasiun kecil yang terlihat muram karena hujan sejak siang tadi. Kereta eksekutif itu lewat begitu saja, tak menggubris sedikit pun stasiun kecil ini, kecuali suara klaksonnya yang memekakan telinga. Memang stasiun ini hanya melayani trayek kereta kelas ekonomi. Bumiwaluya, ya atau tanah yang hidup itu nama stasiun kecil ini, sebuah stasiun kecil di atas bukit di selatan Kabupaten Garut. Keretaku dijadwalkan masih seperempat jam lagi, meskipun aku tak yakin dia akan datang tepat waktu. Memang sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah tepat waktu adalah sebuah aib.

Sudah setengah jam aku duduk di kursi dengan cat hijau tuanya yang mengelupas di sana-sini. Suasana stasiun ini masih sama dengan yang sebelum-sebelumnya, dengan 2 jalur relnya yang kaku, mushola kecil di pojokan peron, dan sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam makanan. Aku bukan orang yang begitu percaya dengan teori relativitas waktunya Einstein, aku yakin Einstein menciptakan teorinya saat dia jatuh cinta karena ia tak mau semua yang ia alami tak dapat dijelaskan dengan teori fisika, namun setengah jam ini terasa begitu lama bagiku. Aku tak berharap dia datang, bukankah sebelum-sebelumnya kepergianku juga seperti ini juga, aku hanyalah sebuah noktah kecil yang tak seorang pun menyadari saat noktah itu lenyap. Kupandangi pintu masuk stasiun itu, masih berharap seseorang yang kukenal mengantarkan kepergianku. Heh, aku tak tahu mengapa aku menjadi begitu melankolis seperti ini, mungkinkah suasana hari yang muram durja dirundung hujan ini merasuk ke dalam diriku?

5 menit berlalu, aku memang bukan pecandu rokok, tapi kucoba menyulut sebatang rokok putih, siapa tahu dapat mengusir dingin. Petang menjelang begitu saja, batas antara sisa-sisa cahaya dengan kepingan-kepingan malam, meskipun itu semua masih terasa bias bagiku. Masih saja kupandangi pintu masuk itu, hampa, hanya rintik-rintik hujan yang mulai menjinak menyisakan genangan air dan tanah becek. Ah, andai saja dia datang.

“ Dari arah timur di jalur 2 kereta ekonomi Pasudan tujuan Bandung akan segera tiba, perhatikan barang bawaan anda dan selamat jalan.” Kata-kata yang sudah ingin kudengar sejak tadi, selama itu 2 batang rokok sudah habis terbakar menjadi abu. Tapi lumayan juga, hanya telat 10 menit. Keretaku akhirnya tiba, dari kejauhan terlihat lampu sorotnya membelah remang-remang petang yang menusuk, remnya berdecit menggigit rel yang dingin menimbulkan suara yang menyayat hati. Lucu juga, hanya aku satu-satunya penumpang dari stasiun ini, aku merasa seolah-olah kereta itu kendaraan pribadi milikku, haha dasar bodoh. Sesaat aku melihat lagi ke pintu masuk, sekali lagi berharap orang yang kukenal berdiri di situ melambaikan tangannya atau mengatakan kata-kata perpisahan yang manis kepadaku. Aah, manusia memang cenderung ingin melihat apa yang ingin dilihatnya daripada apa yang benar-benar dilihatnya, meskipun aku benci mengakui, tapi itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Yah, inilah realita. Kupandangi penjuru peron sesaat sebelum aku masuk ke dalam gerbong, sudut-sudut peron itu seakan menarikku, tak rela aku pergi, memintaku untuk tetap tinggal, ada sedikit perasaanku yang terpaut di tempat ini. Aku hanya tersenyum, manusia itu memang dasarnya penyendiri, manusia dilahirkan sendiri, matipun sendiri, tapi apakah yang menyebabkan eksistensi manusia itu sendiri kecuali pengakuan orang lain, ya, manusia biarpun penyendiri namun dalam hatinya dia membutuhkan pengakuan dari orang lain.

Kulangkahkan kakiku memasuki gerbong yang seolah menawarkan kehangatan, masih banyak tempat duduk yang kosong karena memang hari ini bukanlah hari libur ataupun hari besar. Kucari tempat duduk di dekat jendela, agar aku bisa menyaksikan matinya hari ini, bukankah hari itu dilahirkan dan dibunuh oleh matahari, darahnyalah yang membuat petang berwarna semburat kemerahan, meskipun saat ini alih-alih berwarna merah, langit lebih kelihatan seperti kumpulan jelaga.
Kereta mulai berjalan perlahan, mengumpulkan kekuatan untuk berlari menembus hujan. Kupandangi pintu masuk itu sekali lagi, aku tersenyum, “ Aah, andai saja dia datang.”

Inilah dongeng hasil kreasi gw yang pertama kali gw posting ke blog ini, parah sih, but enjoy it.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hebat kok.
Kutemukan filosof dalam jiwamu, yang mana mereka selalu tersadar untuk mampu menempatkan waktu,
waktu sebagai penyendiri yang memang sebuah identitas asli seorang makhluk,
dan waktu sebagai seorang kawan manusia.
Kutemukan pula penyair dalam jiwamu, yang mana mereka mampu mempenakan apa yang indah dari ayat-ayat-Nya yang begitu luas tersembunyi dalam bilik ruang dan waktu karena tak banyak orang dapat menemukannya.
Tanpa sadar, adamu yang begitu sederhana telah mampu membuat seorang kawan terhenyak sejenak untuk berfikir tentang bagaimana menjadi manusia itu.

Archadia mengatakan...

Terima kasih banyak Anonim,