A Homo Sapien, but Not a Homo
kata-kata rancu dalam deskripsi penuh hipereality
03 September 2010
Sang Penggunjing
Posting berikut ini diilhami keprihatinan gw terhadap temen gw yang suka “lay her/ his finger” dan ngomongin masalah hidup orang lain. Dulu sama anak-anak dia dapat julukan Miss/ Mister Wanna Know, gara-gara kepiawaiannya nyari info tentang masalah-masalah orang lain, biasanya dia akan bilang, “ Kasih tau aku, kasih tau aku.” Dan gw pun masih ingat ekspresinya, bagaimana dia merasa puas banget, setelah tahu masalah orang lain tadi, jujur, gw muak liat ekspresi itu.
Yap, mari kita mulai dengan basa-basi, pada dasarnya manusia itu butuh untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya . dan terdapat sekian banyak cara manusia berkomunikasi, salah satunya adalah berbincang-bincang alias ngobrol alias ngrumpi. Kegiatan ngrumpi ini lebih didominasi oleh kaum berkromosom XX daripada XY, meskipun gw ngga’ bisa menggeneralisasikan bahwa semua cewe suka ngrumpi dan ngga’ semua cowo suka ngrumpi, tapi “ya, sebagian besar cewe lebih suka ngrumpi daripada cowo.” Bahan-bahan obrolan pun bermacam-macam, dan dari sekian banyak bahan obrolan yang sangat menggangu menurut gw adalah saat bahan obrolan itu kehidupan orang lain, apalagi kalau yang diperbincangkan adalah kehidupan kita. Yang lebih memprihatinkan lagi kegiatan ngga’ guna ini juga didukung dengan banyaknya tayangan infotainment di TV dan bahkan ada yang sampai 3 kali sehari, udah kaya jadwal makan aja.
Orang-orang yang suka ngomongin hidup orang lain ini (yang untuk selanjutnya kita sebut penggunjing) biasanya suka mencari-cari info tentang orang lain, mereka mengamati, menyoroti kehidupan orang lain. Saat sesuatu hal terjadi pada orang tersebut, seperti mendapatkan durian runtuh, mereka akan bersorak gembira mendapat bahan obrolan murahan untuk diperbincangkan, such a wasting time. It’s OK kalau yang mereka perbincangkan adalah hal-hal baik yang terjadi tentang seseorang, but in fact mereka lebih senang dan hanya membicarakan keburukan orang lain. Padahal manusia kan ngga’ mungkin lepas dari yang namanya kesalahan, kesalahan selalu mengiringi hidup manusia, untuk itulah mereka belajar untuk menjadi benar. Tapi para penggunjing ini berfikir seolah-olah hidup merekalah yang paling sempurna, tanpa cacat, hidup obyek pembicaraan mereka sebegitu hinanya di mata mereka, padahal hidup mereka tak lebih hina daripada obyek yang mereka bicarakan.
Kebiasaan menggunjing ini membutakan kepekaan hati mereka terhadap kebenaran. Karena hal yang mereka cari adalah keburukan, kebaikan seseorang di mata mereka sungguh tidak berarti dan bahkan kesalahan kecil bagi mereka bisa menjadi sesuatu keburukan yang fantastis. Saat mereka mendapatkan suatu berita tentang keburukan orang lain, tanpa melakukan cek dan ricek, mereka akan langsung menganggap keburukan orang lain adalah fakta yang patut disebarluaskan. Ya kalau berita itu benar, kalau ngga’, berbuat fitnahlah mereka, dan sesungguhnya fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan lagi jika hal buruk tersebut menyangkut “temen ngrumpinya”, mereka akan begitu meresapinya, seolah-olah bener-bener ikut mengalaminya. Kalo temen ngrumpinya benci ama seseorang, dia juga ikut benci, aneh memang, tapi ini nyata. Kalo gw sih, buat apa menodai hati kita dengan rasa benci, lagian itu ngga’ ada hubungannya ama kita, toh dunia ngga’ akan berubah dengan kita ikut-ikutan membenci seseorang, yang ada cuman hati kita jadi busuk karena dijejali dengan rasa benci, what a pity! Dan yang bikin makin dongkol adalah, mereka masih bisa pasang wajah manis di depan orang yang mereka benci, bahkan cameo ataupun artis sinetron paling jago pun kalah kemampuan “kamuflase”nya dibanding para penggunjing ini.
Selain itu, dalam agama pun, kegiatan gunjing-menggunjing sungguh dilaknat dan disamakan dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 12, Allah berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. Dalam hadist juga, Dari Anas radhiyallahu ‘anh, Beliau berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Pada saat di mi’rojkan saya melewati satu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Maka saya bertanya: “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?” Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang makan daging manusia (berbuat ghibah) dan mencela kehormatan orang lain” (HR.Abu Dawud).
Sebagai penutup, posting ini dibuat bukan dengan maksud menyindir, memojokkan atau mengolok-olok seseorang, namun agar kalian yang masih suka membicarakan ataupun ikut campur dalam hidup orang lain ataupun yang tidak agar menjauhi hal-hal ngga’ penting ini. Tengoklah diri kita terlebih dahulu, masih banyak kekurangannya bukan. Dan juga, orang lain hidup dengan cara mereka sendiri, hidup dengan pilihan mereka sendiri, selama mereka tidak menyimpang sah-sah saja bukan. Lagian kita juga pasti merasa risi kalau ada orang yang ikut campur ataupun menjadikan hidup kita sebagai obyek pembicaraan mereka. Mungkin kita bakal bilang, “ Ini kan hidup-hidup gw, terserah gw mau ngapain, gw mau tidur sambil kayang ya terserah gw, gw mau makan sambil ngupil juga terserah gw, so what’s the matter with you?”.
24 Ramadhan 1431 H, Kamar Sebelah Garasi.
NB : Judulnya terinspirasi oleh banyaknya buku-buku baru yang judulnya dimulai dengan kata " Sang".
25 Juni 2010
Hujan
Untukmu :
Kalau malam adalah berarti gelap, maka malam turun lebih cepat hari ini. Baru tengah hari dan mendung mengakhiri hari lebih cepat kali ini. Jelaga hitam menggelayut rata menutupi langit, meskipun di sebelah utara terlihat sedikit lebih terang. Sungguh kontras dengan suasana cerah pagi tadi.
Belum ada setengah jalan jarak yang kutempuh untuk sampai ke tempatmu, tapi nampaknya langit sudah tak sabar lagi menumpahkan semua yang dikandungnya ke bumi. Kuputar tuas gas motor butut kakakku sekencang mungkin sebelum tertangkap hujan. Semua orang nampak terburu dalam suasana muram seperti ini, jalanan dipenuhi kendaraan-kendaraan yang dipaksa pengemudinya sampai ke tujuan sebelum hujan turun.
Sampai aku di jalanan dengan sawah menghampar luas di kanan kiri, meskipun entah sampai kapan hijaunya digantikan warna-warni bangunan. Dari arah berlawanan banyak pengendara motor dengan mantel hujan dan beberapa basah kuyup tanpa mantel hujan. Kucium angin lembab yang berhembus membawa aroma hujan, aroma paling indah menurutku, seolah membawa pertanda akan ada kesenangan di depan. Kutepikan motorku, mencoba bersiap-siap menerjang hujan. Kubuka bagasi motorku, astagfirullah, kosong, ahh, aku lupa memasukkan lagi mantel yang kupakai kemarin, mungkin masih di atas meja dalam garasi. Mau bagaimana lagi, sedikit menyesal dan merasa bodoh kuteruskan perjalananku.
Masih di jalanan penuh sawah, belum lama aku melaju, brrrruuuuuuussss, akhirnya dimulai juga, langit menghujani bumi dengan panah-panah airnya. Kulihat sebuah gubug yang nampak kesepian mungil berdiri di jalanan seperti ini, kutepian motorku sekali lagi ke sana. Mungkin gubug ini dipakai pendirinya untuk menjual ikan, entah ikan laut atau apa, terlihat sisik-sisik berbau amis tertinggal di meja dengan tinggi sepahaku yang tepat terletak di tengah gubug dengan kursi panjang yang tak terlalu tinggi berada di belakangnya. Dinding gubug terbuat dari anyaman bambu yang menutupi seluruh bagian belakang gubug, dan dibiarkan terbuka di bagian depan dan samping-sampingnya, sehingga menyisakan ruang untuk para pengendara yang mungkin berminat membeli. Rusuk-rusuk atapnya dibuat dari batang-batang bambu dengan genteng-genteng tua berwarna coklat yang disusun kurang rapi sehingga air hujan menetes di beberapa tempat saat hujan seperti ini, membuat lubang-lubang air di lantai tanahnya. Aku tak suka menunggu dan pula tak suka membuat orang menunggu, meskipun pada dasarnya menunggu hanya membutuhkan sedikit kemampuan untuk duduk dan bengong dibumbui dengan sedikit kesabaran, tapi tak usah dipungkiri semua orang menganggap menunggu itu membosankan, meskipun menunggu membuat kita lebih bijak, kadang-kadang. Nampaknya kau harus menungguku kali ini, Tuhan tidak mengizinkanku sampai di tempatmu tepat waktu.
Hujan yang turun tak begitu deras, titik-titik airnya tidak begitu besar, tapi mendung yang tadi kelihatan pekat kini berubah agak putih cerah, tampaknya hujan akan turun lama. Kuambil HP dan earpiece dari tasku, kuputar lagu-lagu pelan pengantar hujan untuk membunuh waktu. Kendaraan yang melaju di jalan lebih sedikit, hanya beberapa mobil yang sekali-kali lewat seolah tak terganggu oleh hujan, banyak mungkin pengendara motor yang bernasib sama sepertiku.
Aku selalu suka hujan, dia tak pernah terlalu ekspresif, namun selalu impresif, tak pernah sama dan selalu meninggalkan kesan yang berbeda, terkadang kalau kita beruntung hujan memberi kita bonus busur-busur warna di udara. Entah hujan berarti tangisan kesedihan ataupun rasa cinta langit pada bumi, yang pasti hujan selalu memberi kehidupan baru di bumi. Setengah jam sudah aku menunggu, namun nampaknya hujan belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti, malah rasa-rasanya semakin deras, yang berarti bagus untukku, hujan akan selesai lebih cepat. Angin bertiup agak kencang, membawa butir-butir hujan seolah tak rela aku tak merasakan nikmatnya air hujan. Kulihat genangan air di atas aspal tak bisa tenang, beriak dipukul terus-menerus air dari atas, terkadang ada mobil yang lewat mengosongkannya, tapi tak berapa lama akan penuh kembali, begitu berulang kali. Lagu di playlistku sudah habis, ingin rasanya kuterjang hujan ini, tapi aku tak ingin melihat wajah cantikmu saat marah. Kau selalu memarahiku saat aku bernyanyi bersama hujan, saat airnya membasuhku. Tapi aku juga tak kuasa membayangkan dirimu terjebak dalam kebosanan menungguku. Tapi daripadanya aku lebih memilih yang pertama, aku akan menunggu sampai hujan reda.
1,5 jam sudah aku terjebak di gubug kecil di tengah jalanan sepi ini, aku mulai terbiasa dengannya. Awan mulai semakin tipis, sedikit sinar matahari menerobos melewatinya, memberi pertanda sebentar lagi hujan akan pergi. Burung-burung sriti berkejaran riuh di antara air yang jatuh, seolah tidak peduli udara dingin hari ini. Kuputuskan saat tetes air mengecil aku akan melanjutkan perjalanan, tapi kapan?
Irama hujan masih merdu terdengar, tik..tik..tik..jatuh terurai menghantam genteng dan akhirnya jatuh ke tanah bergabung dengan titik-titik air yang jatuh terlebih dahulu, mengalir entah kemana. Terlihat beberapa petani bergegas memanggul cangkul berjalan melewati pematang sempit yang membelah lahan-lahan mereka. Wajah bahagia dan rasa bersyukur terlihat dari langkah mereka yang bersemangat, Tuhan menyirami lahan mereka, masa panen akan tiba, hijaunya sawah-sawah ini akan berubah dipenuhi bulir-bulir emas tak lama lagi. Namun kukira kebahagiaan itu tak dirasakan oleh pedagang-pedagang yang kehilangan pembeli di saat hujan seperti ini.
Tak berapa lama titik-titik hujan mulai mengecil, lebih terlihat seperti jarum-jarum halus yang jatuh. Langit juga mulai cerah, meskipun belum menampakkan birunya, namun setidaknya tidak muram seperti beberapa waktu lalu. Jalanan yang tadi lengang kini mulai sedikit ramai oleh beberapa motor yang lewat. Yah, saatnya beranjak melanjutkan perjalanan. Kusapu sisa-sisa air yang menempel di jok motorku, kulihat sekali lagi gubug mungil itu, aku tak tahu bagaimana cara berterima kasih padanya, tapi seandainya saja aku bisa. Kau tidak akan merindukanku, karena kita akan bertemu lagi saat perjalanan pulangku nanti.
Aku harus bergegas, kupacu lagi motorku secepat dia bisa. Tak sabar aku sampai ke tempatmu, melihat senyum manismu. Semoga hujan tak menipuku dengan menurunkan hujan lain di suatu tempat di depan. Mungkin aku akan sedikit lebih lama, karena aku harus mampir ke toko bunga lebih dulu.
Pinangga 22, My Idea Tank, June 25, 2010
Kalau malam adalah berarti gelap, maka malam turun lebih cepat hari ini. Baru tengah hari dan mendung mengakhiri hari lebih cepat kali ini. Jelaga hitam menggelayut rata menutupi langit, meskipun di sebelah utara terlihat sedikit lebih terang. Sungguh kontras dengan suasana cerah pagi tadi.
Belum ada setengah jalan jarak yang kutempuh untuk sampai ke tempatmu, tapi nampaknya langit sudah tak sabar lagi menumpahkan semua yang dikandungnya ke bumi. Kuputar tuas gas motor butut kakakku sekencang mungkin sebelum tertangkap hujan. Semua orang nampak terburu dalam suasana muram seperti ini, jalanan dipenuhi kendaraan-kendaraan yang dipaksa pengemudinya sampai ke tujuan sebelum hujan turun.
Sampai aku di jalanan dengan sawah menghampar luas di kanan kiri, meskipun entah sampai kapan hijaunya digantikan warna-warni bangunan. Dari arah berlawanan banyak pengendara motor dengan mantel hujan dan beberapa basah kuyup tanpa mantel hujan. Kucium angin lembab yang berhembus membawa aroma hujan, aroma paling indah menurutku, seolah membawa pertanda akan ada kesenangan di depan. Kutepikan motorku, mencoba bersiap-siap menerjang hujan. Kubuka bagasi motorku, astagfirullah, kosong, ahh, aku lupa memasukkan lagi mantel yang kupakai kemarin, mungkin masih di atas meja dalam garasi. Mau bagaimana lagi, sedikit menyesal dan merasa bodoh kuteruskan perjalananku.
Masih di jalanan penuh sawah, belum lama aku melaju, brrrruuuuuuussss, akhirnya dimulai juga, langit menghujani bumi dengan panah-panah airnya. Kulihat sebuah gubug yang nampak kesepian mungil berdiri di jalanan seperti ini, kutepian motorku sekali lagi ke sana. Mungkin gubug ini dipakai pendirinya untuk menjual ikan, entah ikan laut atau apa, terlihat sisik-sisik berbau amis tertinggal di meja dengan tinggi sepahaku yang tepat terletak di tengah gubug dengan kursi panjang yang tak terlalu tinggi berada di belakangnya. Dinding gubug terbuat dari anyaman bambu yang menutupi seluruh bagian belakang gubug, dan dibiarkan terbuka di bagian depan dan samping-sampingnya, sehingga menyisakan ruang untuk para pengendara yang mungkin berminat membeli. Rusuk-rusuk atapnya dibuat dari batang-batang bambu dengan genteng-genteng tua berwarna coklat yang disusun kurang rapi sehingga air hujan menetes di beberapa tempat saat hujan seperti ini, membuat lubang-lubang air di lantai tanahnya. Aku tak suka menunggu dan pula tak suka membuat orang menunggu, meskipun pada dasarnya menunggu hanya membutuhkan sedikit kemampuan untuk duduk dan bengong dibumbui dengan sedikit kesabaran, tapi tak usah dipungkiri semua orang menganggap menunggu itu membosankan, meskipun menunggu membuat kita lebih bijak, kadang-kadang. Nampaknya kau harus menungguku kali ini, Tuhan tidak mengizinkanku sampai di tempatmu tepat waktu.
Hujan yang turun tak begitu deras, titik-titik airnya tidak begitu besar, tapi mendung yang tadi kelihatan pekat kini berubah agak putih cerah, tampaknya hujan akan turun lama. Kuambil HP dan earpiece dari tasku, kuputar lagu-lagu pelan pengantar hujan untuk membunuh waktu. Kendaraan yang melaju di jalan lebih sedikit, hanya beberapa mobil yang sekali-kali lewat seolah tak terganggu oleh hujan, banyak mungkin pengendara motor yang bernasib sama sepertiku.
Aku selalu suka hujan, dia tak pernah terlalu ekspresif, namun selalu impresif, tak pernah sama dan selalu meninggalkan kesan yang berbeda, terkadang kalau kita beruntung hujan memberi kita bonus busur-busur warna di udara. Entah hujan berarti tangisan kesedihan ataupun rasa cinta langit pada bumi, yang pasti hujan selalu memberi kehidupan baru di bumi. Setengah jam sudah aku menunggu, namun nampaknya hujan belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti, malah rasa-rasanya semakin deras, yang berarti bagus untukku, hujan akan selesai lebih cepat. Angin bertiup agak kencang, membawa butir-butir hujan seolah tak rela aku tak merasakan nikmatnya air hujan. Kulihat genangan air di atas aspal tak bisa tenang, beriak dipukul terus-menerus air dari atas, terkadang ada mobil yang lewat mengosongkannya, tapi tak berapa lama akan penuh kembali, begitu berulang kali. Lagu di playlistku sudah habis, ingin rasanya kuterjang hujan ini, tapi aku tak ingin melihat wajah cantikmu saat marah. Kau selalu memarahiku saat aku bernyanyi bersama hujan, saat airnya membasuhku. Tapi aku juga tak kuasa membayangkan dirimu terjebak dalam kebosanan menungguku. Tapi daripadanya aku lebih memilih yang pertama, aku akan menunggu sampai hujan reda.
1,5 jam sudah aku terjebak di gubug kecil di tengah jalanan sepi ini, aku mulai terbiasa dengannya. Awan mulai semakin tipis, sedikit sinar matahari menerobos melewatinya, memberi pertanda sebentar lagi hujan akan pergi. Burung-burung sriti berkejaran riuh di antara air yang jatuh, seolah tidak peduli udara dingin hari ini. Kuputuskan saat tetes air mengecil aku akan melanjutkan perjalanan, tapi kapan?
Irama hujan masih merdu terdengar, tik..tik..tik..jatuh terurai menghantam genteng dan akhirnya jatuh ke tanah bergabung dengan titik-titik air yang jatuh terlebih dahulu, mengalir entah kemana. Terlihat beberapa petani bergegas memanggul cangkul berjalan melewati pematang sempit yang membelah lahan-lahan mereka. Wajah bahagia dan rasa bersyukur terlihat dari langkah mereka yang bersemangat, Tuhan menyirami lahan mereka, masa panen akan tiba, hijaunya sawah-sawah ini akan berubah dipenuhi bulir-bulir emas tak lama lagi. Namun kukira kebahagiaan itu tak dirasakan oleh pedagang-pedagang yang kehilangan pembeli di saat hujan seperti ini.
Tak berapa lama titik-titik hujan mulai mengecil, lebih terlihat seperti jarum-jarum halus yang jatuh. Langit juga mulai cerah, meskipun belum menampakkan birunya, namun setidaknya tidak muram seperti beberapa waktu lalu. Jalanan yang tadi lengang kini mulai sedikit ramai oleh beberapa motor yang lewat. Yah, saatnya beranjak melanjutkan perjalanan. Kusapu sisa-sisa air yang menempel di jok motorku, kulihat sekali lagi gubug mungil itu, aku tak tahu bagaimana cara berterima kasih padanya, tapi seandainya saja aku bisa. Kau tidak akan merindukanku, karena kita akan bertemu lagi saat perjalanan pulangku nanti.
Aku harus bergegas, kupacu lagi motorku secepat dia bisa. Tak sabar aku sampai ke tempatmu, melihat senyum manismu. Semoga hujan tak menipuku dengan menurunkan hujan lain di suatu tempat di depan. Mungkin aku akan sedikit lebih lama, karena aku harus mampir ke toko bunga lebih dulu.
Pinangga 22, My Idea Tank, June 25, 2010
08 Mei 2010
The Majapahit Trilogy, Sekelumit Ide di Atas Sofa Butut
Jumat, seperti biasa setelah Sholat Jumat beberapa Pinangger akan terlihat berkumpul di sofa butut di depan TV 29” dengan remotenya yang tak kalah ancurnya karena sering didudukin, ngobrol segala sesuatu yang pengen diobrolin. Tadi kebetulan cuma ada gw ama Munif, karena kita soljum di Al Barkah yang deket kost dan terkenal khotbah Jumatnya cepet, hhe, kloter An Nur masih belum ada yang tampak batang hidungnya. Tiba-tiba layar kaca mempertontonkan iklan film Bollywood judulnya Don, yang main Sharukh Khan, di iklan itu ada beberapa adegan-adegan yang lumayan keren. Dimulailah percakapan kita tentang perfilman Indonesia yang super cupu saat ini. Perbincangan diawali oleh Munif
“ Orang India keren juga ya bisa bikin kaya gitu, padahal film itu udah dibikin tahun berapa itu, Indonesia ini bisa sebenarnya, bisa juga, Indonesia ini kaya kali sebenarnya, coba dibikin film kolosal tentang Majapahit, trilogy gitu, pasti box office deh.”
Karena masih laper gw jawab dengan pesimis,
“ Mana laku Nif, orang Indonesia mah pasti ga doyan nonton film gitu-gituan, yang ada film-film horror ga jelas, padahal sebenernya mah bokep nanggung”
“ Woiss, jangan salah, sebenarnya kita kurang publikasi aja, jadi masyarakat pada ngga mau nonton, coba kita ntar bikin trus diikutin festival-festival film internasional, pasti ntar orang-orang Indonesia tertarik juga, siapa sih yang ngga mau nonton film box office, tengoklah Laskar Pelangi.”
Akhirnya tercerahkanlah otak bebal gw,
“ Bener juga ya, publikasi gede-gedean aja, bikin semua orang penasaran, ntar pasti pada tertarik buat nonton, sebenernya film-film indie itu bagus-bagus, cuman kurang publikasi aja., tapi yang bikin produser-produser film males buat film kolosal itu gara-gara biaya buat film gituan pasti mahal.”
“ Tapi kan ntar incomenya gedhe juga, dikasih lah subtitle bahasa inggris, kita pasarkan di luar negeri, pasti laku, liat aja China banyak film-film tentang kerajaan mereka.”
Tiba-tiba datang Dhani diikuti akang warung mie depan dengan pesanan indomie telur rasa soto ayam buat makan siang gw.
“ Pada ngomongin apa ni?”
“ Majapahit trilogy Dhan.” celetuk gw sambil bayar mie ke Aa'.
“ Jadi kalo di Indonesia ini dibikin film tentang Majapahit gitu pasti laku, ya ngga?”
Dhani pun terbawa ke perbincangan.
“ Eh iya, bener juga lho, cuma masalahnya kita ini kurang bangga ama budaya sendiri.”
Munif nambahin,
“ Liat aja Jepang, negaranya kecil gitu, ngga pernah ekspansi ke luar, tapi samurainya terkenal kemana-mana, masa Indonesia yang gedhe gini ngga bisa.”
“ Dibikin waktu perang lawan prajurit Mongol, pasti seru, senjata dimana-mana, dibumbui ama kisah-kisah cinta gitu, misalnya waktu nglamar putrid yang dari Campa itu, pasti keren, kalau aku konglomerat, udah aku bikin tu film.”
Seiring pembicaraan mie gw tinggal setengah, si Aa’ ni bikinnya kebanyakan airnya, hmmm.
“ Iya, cuman jangan dikasih efek-efek terbang gitu, ntar malah jadi freak, dibikin alami aja, kaya film Troy, Arthur gitu.”
“ Dikasih efek-efek juga nggak apa-apa, asal efeknya bener-bener bagus.”
“ Nggak ah, kita harus bikin se-real mungkin, bayangin aja Gajah Mada pegang keris sambil diikuti prajuritnya yang banyak, wuuuuh., pake bahasa Jawa lagi, hahahaha, pasti keren” Chauvinisme gw keluar.
“ Mbuahmu pake bahasa Jawa, pakai bahasa Sansekerta lah, tapi apa ada yang masih bisa, pake bahasa Indonesia trus dikasih subtitle bahasa inggris aja”
Sreeeet, tiba-tiba gw terlintas aja nama Adipati Unus di pikiran gw,
“ Atau kalau ngga dibikin tu perang pas Adipati Unus nyerang Portugis di Selat Malaka, dibikin kaya waktu perangnya di Pirates of The Carribeans, keren juga tuh, banyak meriam-meriam gitu.”
“ Bisa juga serangan Panembahan Senopati ke Batavia, banyak lah kalau mau digali.”
“ Boleh juga tu, intinya kita tu sebenernya punya banyak potensi, cuman pada terpaku ama trend aja para pembuat film itu, jadinya ya monoton.”
“ Mereka-mereka pada mentingin income sih, coba kalau pada mentingin kualitas film, bukan artist sejatilah.”
Akhirnya gw kenyang, mie gw habis, percakapan pun berakhir, hehe. Pesan buat sineas-sineas Indonesia lah yang punya kapasitas buat mewujudkan mimpi kita buat perfilman Indonesia yang bermutu, berkaryalah untuk karya itu sendiri, jangan berkarya karena materi, niscaya materi itu akan ngikut sendiri, nama kalian pun akan abadi bersama karya kalian. Dan buat sineas-sineas yang belum tercerahkan yang masih bikin sinetron-sinetron, atau “drama” reality (reality yang didramatisir), tobatlah kembali ke jalan yang benar, gali potensi kalian, udahlah cukup bikin sampah-sampah yang membodohi masyarakat.
Ditulis jam 1-an malam, abis nyuci, semoga cucian gw besok kering, :p
“ Orang India keren juga ya bisa bikin kaya gitu, padahal film itu udah dibikin tahun berapa itu, Indonesia ini bisa sebenarnya, bisa juga, Indonesia ini kaya kali sebenarnya, coba dibikin film kolosal tentang Majapahit, trilogy gitu, pasti box office deh.”
Karena masih laper gw jawab dengan pesimis,
“ Mana laku Nif, orang Indonesia mah pasti ga doyan nonton film gitu-gituan, yang ada film-film horror ga jelas, padahal sebenernya mah bokep nanggung”
“ Woiss, jangan salah, sebenarnya kita kurang publikasi aja, jadi masyarakat pada ngga mau nonton, coba kita ntar bikin trus diikutin festival-festival film internasional, pasti ntar orang-orang Indonesia tertarik juga, siapa sih yang ngga mau nonton film box office, tengoklah Laskar Pelangi.”
Akhirnya tercerahkanlah otak bebal gw,
“ Bener juga ya, publikasi gede-gedean aja, bikin semua orang penasaran, ntar pasti pada tertarik buat nonton, sebenernya film-film indie itu bagus-bagus, cuman kurang publikasi aja., tapi yang bikin produser-produser film males buat film kolosal itu gara-gara biaya buat film gituan pasti mahal.”
“ Tapi kan ntar incomenya gedhe juga, dikasih lah subtitle bahasa inggris, kita pasarkan di luar negeri, pasti laku, liat aja China banyak film-film tentang kerajaan mereka.”
Tiba-tiba datang Dhani diikuti akang warung mie depan dengan pesanan indomie telur rasa soto ayam buat makan siang gw.
“ Pada ngomongin apa ni?”
“ Majapahit trilogy Dhan.” celetuk gw sambil bayar mie ke Aa'.
“ Jadi kalo di Indonesia ini dibikin film tentang Majapahit gitu pasti laku, ya ngga?”
Dhani pun terbawa ke perbincangan.
“ Eh iya, bener juga lho, cuma masalahnya kita ini kurang bangga ama budaya sendiri.”
Munif nambahin,
“ Liat aja Jepang, negaranya kecil gitu, ngga pernah ekspansi ke luar, tapi samurainya terkenal kemana-mana, masa Indonesia yang gedhe gini ngga bisa.”
“ Dibikin waktu perang lawan prajurit Mongol, pasti seru, senjata dimana-mana, dibumbui ama kisah-kisah cinta gitu, misalnya waktu nglamar putrid yang dari Campa itu, pasti keren, kalau aku konglomerat, udah aku bikin tu film.”
Seiring pembicaraan mie gw tinggal setengah, si Aa’ ni bikinnya kebanyakan airnya, hmmm.
“ Iya, cuman jangan dikasih efek-efek terbang gitu, ntar malah jadi freak, dibikin alami aja, kaya film Troy, Arthur gitu.”
“ Dikasih efek-efek juga nggak apa-apa, asal efeknya bener-bener bagus.”
“ Nggak ah, kita harus bikin se-real mungkin, bayangin aja Gajah Mada pegang keris sambil diikuti prajuritnya yang banyak, wuuuuh., pake bahasa Jawa lagi, hahahaha, pasti keren” Chauvinisme gw keluar.
“ Mbuahmu pake bahasa Jawa, pakai bahasa Sansekerta lah, tapi apa ada yang masih bisa, pake bahasa Indonesia trus dikasih subtitle bahasa inggris aja”
Sreeeet, tiba-tiba gw terlintas aja nama Adipati Unus di pikiran gw,
“ Atau kalau ngga dibikin tu perang pas Adipati Unus nyerang Portugis di Selat Malaka, dibikin kaya waktu perangnya di Pirates of The Carribeans, keren juga tuh, banyak meriam-meriam gitu.”
“ Bisa juga serangan Panembahan Senopati ke Batavia, banyak lah kalau mau digali.”
“ Boleh juga tu, intinya kita tu sebenernya punya banyak potensi, cuman pada terpaku ama trend aja para pembuat film itu, jadinya ya monoton.”
“ Mereka-mereka pada mentingin income sih, coba kalau pada mentingin kualitas film, bukan artist sejatilah.”
Akhirnya gw kenyang, mie gw habis, percakapan pun berakhir, hehe. Pesan buat sineas-sineas Indonesia lah yang punya kapasitas buat mewujudkan mimpi kita buat perfilman Indonesia yang bermutu, berkaryalah untuk karya itu sendiri, jangan berkarya karena materi, niscaya materi itu akan ngikut sendiri, nama kalian pun akan abadi bersama karya kalian. Dan buat sineas-sineas yang belum tercerahkan yang masih bikin sinetron-sinetron, atau “drama” reality (reality yang didramatisir), tobatlah kembali ke jalan yang benar, gali potensi kalian, udahlah cukup bikin sampah-sampah yang membodohi masyarakat.
Ditulis jam 1-an malam, abis nyuci, semoga cucian gw besok kering, :p
Labels:
Daily moment at STAN,
Opinion,
Pinangga
06 Mei 2010
Negeri di Atas Awan
Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang neg'ri di awan
Di mana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kau bawa
Aku menuju kesana
Secuil lirik lagu tentang negeri impian di atas mungkin memang hanya bisa kita dapati di dalam sebuah lagu, sebuah negeri dalam angan-angan belaka
Tengoklah sebuah negeri bernama Indonesia,
dimana uang menjadi istananya
dewan perwakilan berulah bagai hewan
pelacur dijadikan pimpinan
yang benar disalahkan
yang salah dibenarkan
rakyat kecil yang jadi korban
Di negeri ini orang cerdik pandai dibuang, Sri Mulyani Indarwati, Srikandi Reformasi, manusia berkompeten, disia-siakan setelah jasanya menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi global, setelah reformasi pajak yang menaikkan pendapatan Indonesia. Sebuah wacana di negeri ini, sepintar apapun orangnya, sekompeten apapun orangnya, kalau suaranya berbeda akan tersingkir juga. Tidak cuma dia, dahulu Sang Jenius Habibie juga mengalami nasib yang sama, dibuang, tak dihargai. Bagaimana negara ini bisa maju kalau penghargaan kepada para warganya tidak ada,. Terbukti negara yang maju adalah negara yang bisa menghargai warga negara mereka , Mungkin sudah bawaan dari orok orang-orang di negeri ini lebih suka melihat kejelekan orang daripada kebaikan mereka. Tapi memang mereka lebih baik keluar dari negeri ini, mereka lebih dihargai di sana dan mereka lebih bisa memberikan kontribusi mereka pada dunia setidaknya.
Sebenarnya apa yang salah dari negeri ini?
Semuanya? tidak juga, negeri ini masih memiliki banyak orang baik, hanya saja sedikit dari manusia-manusia busuk lah yang memegang kekuasaan. Wakil rakyat, menggembar-gemborkan atas nama rakyat, aspirasi rakyat dijadikan tameng, tapi apa? mereka bicara atas nama partai, golongan, aspirasi rakyat mana yang mereka sampaikan. Setiap saat meminta kenaikan gaji, meminta fasilitas dengan biaya yang waaah, fasilitas laptop 15 juta per ekor, buat apa sih, ngga guna, beberapa dari mereka bahkan tidak bisa mengoperasikannya. Gedung senilai 18T, berapa banyak sekolah-sekolah yang rusak, berapa banyak sarana-sarana umum yang memerlukan perbaikan? Semua anggota Hewan Perwakilan hanya memikirkan perut mereka sendiri, otak mereka benar-benar bebal. Lihat apa kerja mereka, rapat absen, datang pun hanya tidur, beda pendapat berantem. Benar kata Gus Dur, DPR itu seperti taman kanak-kanak.
Kasus century pun harusnya sudah bisa diselesaikan sejak dulu, DPR lah yang memanjang-manjangkan, bikin pansus lah, lihat apa hasilnya? pemborosan, rapat sana-sini, duit negara dihambur-hamburkan, hasilnya nihil, tapi setidaknya memberi tontonan rakyat bahwa mereka berisi orang-orang dengan mulut yang tak terdidik & otak yang dangkal. Dari recruitmentnya aja udah salah, di negeri ini kalo ngga punya duit ngga bisa dapat kekuasaan, money politik dijadikan patokan, mereka mengeluarkan duit yang ngga sedikit buat duduk di Senayan. Hasilnya, di Senayan mereka berusaha balik modal, mengadakan lah mereka yang seharusnya ngga ada, bikin lah mereka kebijakan-kebijakan yang sama sekali ngga bijak, intinya semua seperti lagunya Slank, ujung-ujungnya dhuit, wtf.
Selain itu KPK, satu-satunya harapan negeri ini bisa bersih pun dikebiri dengan undang-undang bikinan Hewan Perwakilan yang terhormat, penyadapan harus ijin lah, pembatasan wewenang lah, terus buat apa KPK, sebuah super body tanpa superioritasnya? Macam macan ompong. Mereka yang membentuk KPK, mereka pula yang mempretelinya, konyol.
Di negeri ini, partai-partai banyak sekali,
semua bicara atas nama rakyat,
mengayomi orang-orang melarat,
tapi semua sama, isinya hanya orang-orang keparat
Menurut gw, terlalu banyak partai di Indonesia ini, terlalu banyak benturan kepentingan. Yang biru lah, merah lah, kuning lah, hitam lah, semuanya sama saja. Akhirnya terjadilah yang namanya bicara untuk golongan, kebijakan yang dibuat menguntungkan sebagian orang saja, rakyat juga yang akhirnya dirugikan.
Di negeri ini hukum seperti mainan
Hakim-hakim mata duitan
Keadilan diperjualbelikan
Koruptor bebas berkeliaran
Preman desa masuk bui
Maling ayam mati dipukuli
Penegakan hukum di negeri ini pincang, markus-markus untuk mereka yang berduit agar bisa terhindar dari hukuman. Banyak professor, guru-guru besar bidang hukum, sarjana-sarjana hukum di negeri ini, gw yakin mereka orang pintar, tapi gw ngga yakin hati mereka sepintar otak mereka. Satu orang pintar yang ngga punya hati lebih berbahaya daripada sepasukan prajurit bersenjata. Dibalik-balikin lah hukum di negeri ini, Gayus yang jelas-jelas sampah di negeri ini divonis bebas dengan alasan yang sumir, sementara Nenek Minah, seorang tua renta, yang hanya karena memungut sebiji kakao yang jatuh ke tanah divonis penjara 1,5 bulan, ironis bukan.
Polisi pun sama saja, yang katanya mengayomi masyarakat malah diayomi masyarakat, pungutan-pungutan atas nama keamanan lah, benar kata Gus Dur di negeri ini hanya ada 3 polisi yang jujur, Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur, lainnya?
Tapi gw yakin suatu saat nanti akan datang saat di mana masyarakat bisa menilai mana yang benar dan salah dan akan orang yang berhati yang memimpin negeri ini, tapi kapan? No one knows. Dan suatu saat entah kita, atau mungkin anak cucu kita akan bercerita :
Dahulu kala ada sebuah negeri sirkus
Di mana petinggi-petingginya adalah badut
Negara dijadikan lelucon
Lucu sekali
But the circus must go on.
nb : kata penjaga kost gw, si sampah jayus Gayus sutambun alumni kostan gw lho, aduh bikin malu Pinangga aja,
23 Januari 2010
Dini Hari
Dini hari,
Begitu nama yang mereka berikan, terjebak di antara malam dan pagi.
Dini hari,
Saat berusaha meyakinkan bahwa keraguan-keraguan itu tak lebih dari sebuah kekhawatiran belaka.
Dini hari,
Saat mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tak memerlukannya.
Dini hari,
Saat berusaha membuka apa-apa yang ditutupi.
Dini hari,
Saat mengecap hambarnya hari.
Dini hari,
Saat mereka terlelap, saat Tuhan terjaga.
Dini hari,
Saat serpihan-serpihan ketenangan berserakan.
Dini hari,
Karena aku memilih begitu.
Kamar Gelap, 24 Jan 2010
Begitu nama yang mereka berikan, terjebak di antara malam dan pagi.
Dini hari,
Saat berusaha meyakinkan bahwa keraguan-keraguan itu tak lebih dari sebuah kekhawatiran belaka.
Dini hari,
Saat mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tak memerlukannya.
Dini hari,
Saat berusaha membuka apa-apa yang ditutupi.
Dini hari,
Saat mengecap hambarnya hari.
Dini hari,
Saat mereka terlelap, saat Tuhan terjaga.
Dini hari,
Saat serpihan-serpihan ketenangan berserakan.
Dini hari,
Karena aku memilih begitu.
Kamar Gelap, 24 Jan 2010
18 Januari 2010
Kebakaran
Seperti biasa sore di Pinangga, TV di ruang tamu dipantengin anak-anak kurang kerjaan yang ngliatin 1 bola direbutin 20 orang, dan seperti biasanya pula gw lebih seneng tidur & mendengarkan sorak sorai mereka dari kamar gw yang nyaman. Berhubung tingkat kebisingan yang mengalahkan suara hujan di luar maka acara tidur sore itu pun ditunda. Bingung mau ngapain gw nyalain si putih jelek yang membawa gw menjelajahi dunia maya.
Tiba-tiba Munif, si medan penunggu kamar nomor 24 masuk dengan rokok menyala-nyala, ngambil asbak di atas meja gw, trus nangkring di atas kasur.
“ Eh, Nu lw udah punya album 30 Seconds to Mars yang baru belum?”
“ Cari gambarnya dhonk, telkomshit gw nggak nyambung-nyambung ni.”
Jadi Munif ini sama kaya gw, ngga suka bola, cuma kalo gw stadium 5, alias cuma mau nonton bola pas world cup aja, dia stadium 4 lah, masih tau nama-nama pemain bola. Dan yang paling unik dari dia adalah dia itu lebih lama hidup di dunia maya, maen gamenya itu lho, berhenti paling cuma buat makan ama kuliah, selebihnya habis di depan laptop, meskipun dengan jaringan minim dari telkomshit ( makanya pake M2, heheh promosi).
“ Wah, gw cuma punya This is War ama Kings and Queens dhoank, lw cari aja sendiri dah, gw nitip kamar gw bentar yak, gw mandi dulu”
Berhubung sekarang gw udah nggak phobia ama air, maka Munif gw tinggalin sendiri di kamar gw.
Kebiasaan gw adalah kalo udah masuk di kamar mandi suka bengong-bengong sendiri, pikirannya kemana-mana, alhasil kalo mandi gw suka lama, padahal sebenernya kalo dikurangi acara bengong-bengongnya paling ngga nyampe 5 menit juga udah kelar.
Tiba-tiba di tengah acara bengong ria, gw mencium bau-bau asap tapi beda ama bau asap rokok. Gw sih ngga curiga, paling Bang Koplo, penjaga kost gw, lagi bakar sampah ato apalah hujan gini biar anget.
10 menit kemudian, badan gw udah seger, wangi lagi, gw keluar kamar mandi dan Masya Allah, kamar gw penuh asap, dan Munif dengan nyantenya masih duduk manis di depan laptop, padahal ½ meter dari dia kasur gw meronta-ronta kepanasan.
“ Woy Nif, kasur gw kebakar tuh, matiin – matiin cepet.”
Dengan sadisnya Munif ngambil kaos gw yang kebetulan di atas kasur, dikebut-kebutinlah itu kaos di atas kasur gw. Bukannya baranya mati, eh baranya makin gede, asap di kamar gw pun makin banyak, ampuuuun.
“ Ambil air Nif, cepetan kasur gw bisa abis ni.”
Dengan air segayung, matilah bara yang dengan sadisnya menyisakan lubang hitam sebesar bola basket di kasur gw.
Tersangka dari kebakaran ditetapkan adalah bara rokok Munif yang jatuh ke kasur gw, dan setelah dilakukan pendataan, ternyata ada 2 korban jatuh, yang pertama kasur gw dan yang ke-2 adalah kaos gw ikut bolong, salah apakah kaos hambaMu ini ya Allah.
Setelah insiden tadi, dengan polosnya Munif cerita,
“ Tadi itu sebenernya gw juga curiga ada bau-bau asap gitu, rokok udah gw matiin, gw keluar kamar kok ada juga baunya, jadi gw mikirnya itu bau dari luar.’”
Munif…Munif..
Akhirnya malam itu gw tidur di atas karpet.T.T
Dan esoknya Munif kena penalti 100 ribu, buat biaya perbaikan kasur gw, oh Munif malangnya nasibmu.
Pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini adalah hati-hati jika Munif masuk ke kamar kalian, hehe, & jangan merokok ( di atas kasur).
Tiba-tiba Munif, si medan penunggu kamar nomor 24 masuk dengan rokok menyala-nyala, ngambil asbak di atas meja gw, trus nangkring di atas kasur.
“ Eh, Nu lw udah punya album 30 Seconds to Mars yang baru belum?”
“ Cari gambarnya dhonk, telkomshit gw nggak nyambung-nyambung ni.”
Jadi Munif ini sama kaya gw, ngga suka bola, cuma kalo gw stadium 5, alias cuma mau nonton bola pas world cup aja, dia stadium 4 lah, masih tau nama-nama pemain bola. Dan yang paling unik dari dia adalah dia itu lebih lama hidup di dunia maya, maen gamenya itu lho, berhenti paling cuma buat makan ama kuliah, selebihnya habis di depan laptop, meskipun dengan jaringan minim dari telkomshit ( makanya pake M2, heheh promosi).
“ Wah, gw cuma punya This is War ama Kings and Queens dhoank, lw cari aja sendiri dah, gw nitip kamar gw bentar yak, gw mandi dulu”
Berhubung sekarang gw udah nggak phobia ama air, maka Munif gw tinggalin sendiri di kamar gw.
Kebiasaan gw adalah kalo udah masuk di kamar mandi suka bengong-bengong sendiri, pikirannya kemana-mana, alhasil kalo mandi gw suka lama, padahal sebenernya kalo dikurangi acara bengong-bengongnya paling ngga nyampe 5 menit juga udah kelar.
Tiba-tiba di tengah acara bengong ria, gw mencium bau-bau asap tapi beda ama bau asap rokok. Gw sih ngga curiga, paling Bang Koplo, penjaga kost gw, lagi bakar sampah ato apalah hujan gini biar anget.
10 menit kemudian, badan gw udah seger, wangi lagi, gw keluar kamar mandi dan Masya Allah, kamar gw penuh asap, dan Munif dengan nyantenya masih duduk manis di depan laptop, padahal ½ meter dari dia kasur gw meronta-ronta kepanasan.
“ Woy Nif, kasur gw kebakar tuh, matiin – matiin cepet.”
Dengan sadisnya Munif ngambil kaos gw yang kebetulan di atas kasur, dikebut-kebutinlah itu kaos di atas kasur gw. Bukannya baranya mati, eh baranya makin gede, asap di kamar gw pun makin banyak, ampuuuun.
“ Ambil air Nif, cepetan kasur gw bisa abis ni.”
Dengan air segayung, matilah bara yang dengan sadisnya menyisakan lubang hitam sebesar bola basket di kasur gw.
Tersangka dari kebakaran ditetapkan adalah bara rokok Munif yang jatuh ke kasur gw, dan setelah dilakukan pendataan, ternyata ada 2 korban jatuh, yang pertama kasur gw dan yang ke-2 adalah kaos gw ikut bolong, salah apakah kaos hambaMu ini ya Allah.
Setelah insiden tadi, dengan polosnya Munif cerita,
“ Tadi itu sebenernya gw juga curiga ada bau-bau asap gitu, rokok udah gw matiin, gw keluar kamar kok ada juga baunya, jadi gw mikirnya itu bau dari luar.’”
Munif…Munif..
Akhirnya malam itu gw tidur di atas karpet.T.T
Dan esoknya Munif kena penalti 100 ribu, buat biaya perbaikan kasur gw, oh Munif malangnya nasibmu.
Pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini adalah hati-hati jika Munif masuk ke kamar kalian, hehe, & jangan merokok ( di atas kasur).
Labels:
Daily moment at STAN,
Pinangga
Langganan:
Postingan (Atom)